“Jangan kayak gitulah, kalo gitu sih terlalu ekstrim”
“Islam itu kan toleran, mudah, nggak nyusah-nyusahin, fleksibel”
Kalimat yang begini, bila diucapkan oleh
seorang ulama yang mengerti tentang agama tentu sesuatu yang baik,
sesuatu yang benar. Tapi seringnya kalimat-kalimat semisal ini keluar
dari lisan orang-orang yang malas dan nggak serius mempelajari Islam,
untuk membenarkan kesalahan yang dia lakukan, untuk memilah-memilih
hukum mana yang dia suka dan mengabaikan hukum yang tidak dia suka atau
bertentangan dengan perbuatannya.
Misalnya, seringkali saya menyampaikan
tentang haramnya riba dan turunannya seperti KPR, leasing, kartu kredit,
serta haramnya beberapa transaksi ekonomi lain seperti asuransi dan
perdagangan saham, biasanya yang keluar dari orang yang begini,
“Jangan kayak gitulah, kalo gitu sih terlalu ekstrim”
Tidak terjadi hal semisal itu ketika
saya menjelaskan pada masyarakat tentang keutamaan berpuasa sunnah,
rajin bersedekah, semangat dalam menghapal Al-Qur’an, memperbanyak
shalat malam dan sunnah-sunnah nawafil lainnya.
Mengapa bisa begitu?
Memang kita hidup dalam masyarakat yang
menjadikan dirinya sendiri dan nafsunya menjadi standar atas baik dan
buruk, atas halal dan haram, bukan Allah yang menentukannya.
Sesuatu yang menurut dia baik lantas
dikatakan baik, sesuatu yang dia belum melakukannya atau dia belum mau
melakukannya, maka dikatakan ekstrim. Sayangnya dia sendiri malas dan
lalai dalam mempelajari agama.
Lucunya, terkadang ulama yang jelas
lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mempelajari agama Islam, dan
jelas lebih mengetahui apa yang kebanyakan manusia tidak mengetahui
tentang perkara agama, bisa dihukumi “sesat” atau “tidak sesat” oleh
segolongan manusia berdasarkan hawa nafsunya.
Hampir-hampir mirip dengan sifat kaum
Yahudi yang ketika didatangkan seorang Rasul bagi mereka, bila Rasul itu
menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan hawa nafsu mereka, maka
mereka mendebat bahkan membunuh Rasul itu. Bedanya dengan sekarang, baru
sebatas pembunuhan karakter.
Sesungguhnya Kami
telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada
mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka
dengan membawa apa yang yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka,
(maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang
lain mereka bunuh (QS Al-Maaidah [5]: 70)
Ceritanya, ada orang yang masih berkutat
dengan riba, bahkan hidup dari sana. Sudah umum juga diketahui bahwa
seringkali dia melibatkan suap dalam melancarkan bisnisnya. Dan, suatu
waktu ada ulama yang menyampaikan haramnya riba dan suap, maka dia
katakan
“Wah, itu ustadz ekstrim, salah tuh, terlalu menghakimi dan terlalu keras”
Nah, jadi sekarang yang “Ustadz” yang
mana sih, dia atau yang sudah belajar? Jadi, yang “terlalu menghakimi”
dan “terlalu keras” siapa?
Agama Islam ini memang agama yang
mengatur seluruh kehidupan manusia, karena datang dari Allah yang Maha
Mengatur. Memang ada beberapa hal di dalam Islam yang hukumnya syubhat (abu-abu) atau ada ikhtilaf
(perbedaan) ulama dalam memandang hukumnya. Namun lebih banyak lagi di
dalam agama ini yang sudah jelas-jelas hukumnya didalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Sesungguhnya yang
halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat
perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh
orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah
menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam
perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan.
Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar
(ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan
memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan
Allah adalah apa yang Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini
terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini
dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia
adalah qalbu (HR Bukhari Muslim)
Semua tertulis jelas hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kalau saja kita mau belajar mengerti dan memahami hal tersebut.
“Tapi kan nggak semua orang yang bisa paham itu? Baca Al-Qur’an dan As-Sunnah pun harus ada penjelasannya kan?”
Betul sekali, karena itu mulailah
belajar. Minimal sediakan tafsir Al-Qur’an sebagai teman dalam membaca
Al-Qur’an, setelah tilawah, lanjut dengan merenungi arti serta
tafsirnya, dan diskusikan dengan ahli ilmunya bila masih ada yang kurang
memahami.
Beli buku yang berkaitan dengan masalah
yang kita ingin kuasai, datangi majlis-majlis ilmu yang membahasnya,
atau bahkan undanglah yang memiliki ilmunya untuk membahasnya
bersama-sama.
Tapi tidak dengan mengatakan,
“Islam itu kan toleran, mudah, nggak nyusah-nyusahin, fleksibel”
Lalu dia menyerahkan definisi
“toleran-mudah-nggak susah-fleksibel” itu sesuai dengan dia, tanpa ilmu,
tanpa pengetahuan, sehingga sudah pasti akan menuju jalan kesesatan.
Terus terang, saya lebih kagum dan
respek pada beberapa teman yang masih bermaksiat namun sadar bahwa
mereka bermaksiat, sadar bahwa mereka salah. Hanya perlu dukungan dan
waktu saja, dan tentu izin dan hidayah Allah agar mereka mau berubah ke
arah yang baik. Karena kesadaran akan kebenaran itu sudah setengah dari
kebaikan.
Ada yang tahu kerudung punuk unta itu
dilarang, tapi masih menggunakannya, tapi dia sadar betul dan mau untuk
mengubah penampilannya, hanya masih belum yakin, hanya masih perlu
waktu.
Ada yang masih pacaran, tapi kemana-mana
bilang haramnya pacaran. Bukan karena niat yang salah atau sengaja,
tapi mungkin masih belum yakin, setan munafik masih ada di dalam
hatinya, mungkin masih perlu waktu dan dukungan.
Ada yang masih makan riba, tapi sadar
perbuatannya salah, lalu mengundang para asatidz datang ke kantornya,
untuk ceramah haramnya transaksi riba. Niatnya sudah ada namun perlu
penguatan. Mungkin dia ingin sama-sama karyawanya keluar dari kantor
yang penuh riba.
Semua yang begini, kita hormati dan
respek, kita dukung dan kita dampingi. Karena kesadaran dan niat sudah
ada, kita tinggal memperbesar kesadaran dan niatan itu.
Yang jelas, beda dengan yang kita bahas
di depan. Sudahlah salah, malah menyalahkan hukumnya Allah, malah
menyalahkan ulama yang membawakan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan malah
menuntut agar syariat Islam disesuaikan dengan nafsunya.
Lalu yang jadi Tuhan siapa? Allah atau manusia?
Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS Al-Furqaan [25]: 43)
Hanya kepada Allah tentu kita menyembah,
artinya hanya pada Allah seluruh ketaatan atas peraturan. Kalaulah kita
belum bisa melaksanakannya, maka berdoalah semoga kita diberi kemampuan
untuk melaksanakannya, dan keseriusan dalam melaksanakannya.
Janganlah kita jadi orang yang
menentang, bahkan menjadikan diri kita sebagai pembuat aturan setelah
Allah menurunkan syariat yang jelas yaitu Islam. Tugas kita memahami
aturan Allah bukan membuat aturan, mencari dalil halal-haram bukan
membuat dalil halal-haram.
Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama
itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui (QS Al-Jaatsiyah [45]: 18)
Untuk beberapa pembahasan tentang
transaksi ekonomi yang saya sebutkan diatas, boleh membaca beberapa
artikel dibawah ini, atau silakan cari referensi-referensi lain yang
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
http://konsultasi.wordpress.com/2008/11/20/riba-definisi-hukum-dan-macamnya/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/leasing-sepeda-motor/
http://konsultasi.wordpress.com/2010/01/29/bolehkah-memanfaatkan-kartu-kredit/
http://konsultasi.wordpress.com/2007/09/14/jual-beli-saham-dalam-pandangan-islam/
http://konsultasi.wordpress.com/2012/05/22/hukum-asuransi-syariah/
untuk mendapatkan buku-buku @felixsiauw bisa ke Gramedia atau pesan online di alfatihbookstore.com atau ke pages Facebook alfatihbookstore
akhukum @felixsiauw
Tidak ada komentar:
Posting Komentar